Kritik tari secara umum sepanjang sejarahnya menjadi sebuah wacana yang kurang menyenangkan untuk seseorang yang terkena, karena tidak jarang pengertian kritik selalu dikaitkan dengan persepsi mengenai ‘celaan’, ‘makian’, ‘gugatan’, atau ‘koreksi’. Akibatnya orang yang terkena kritik menjadi kesal, merasa direndahkan, dilecehkan, tidak dihargai, atau dibantai. Tetapi benarkah demikian? Masalahnya adalah bagaimana cara mengemukakan kritik itu sendiri. Seyogyanya mengkritik dilakukan dengan santun, argumen yang jelas, seimbang dan adil dalam memaparkan potensi seni yang ditulisnya. Posisi seorang kritikus adalah penengah antara seniman dan audiens/penonton, yang memiliki peran seperti pendidik seni. Dengan demikian melalui tulisan kritikus, seorang seniman serta masyarakat umum memahami kelebihan dan kekurangan yang terdapat pada sebuah karya seni serta tahu solusi untuk merevisinya.
Istilah kritik itu berasal dari bahasa Yunani, yaitu berasal dari kata krites (kata benda) yang bersumber dari kata “Kriterion” yaitu kriteria, sehingga kata itu diartikan sebagai kriteria atau dasar penilaian. Dengan demikian kita memberikan kritik itu harus memiliki dasar kriteria sebagai acuan. Menurut pendapat bapak-ibu guru apakah kritik tari itu diperlukan? Betul kritik tari diperlukan oleh koreografer sebagai bagian dari sebuah evaluasi untuk meningkatkan kualitas kreativitas koreografinya, karena kritik adalah tanda penghargaan audiens terhadap proses kreatifnya.
Seorang kritikus tari akan memberikan pandangan yang rinci disertai argumen cerdas dalam mengevaluasi karya tari, memberikan pemahaman kepada masyarakat umum mengenai nilai-nilai estetis yang ada pada sebuah karya. Dengan demikian kritik yang baik itu bersifat membangun, memberi evaluasi sekaligus memberi motivasi.
Sumber : buku k13 seni budaya kelas xi