Cerpen : Pak Adil Mencari Keadilan

Pak Adil menuntun sepeda gunung tuanya di gang perkampungan. Tangan kanannya memegangi kotak besar yang diikatkan di boncengan dan tangan kirinya mencengekram stang sepeda. Di kotak besar itulah selama 7 tahun hidup diri, anak, serta istrinya bergantung. Di sisi kanannya dibatasi oleh selokan selebar 2 meter. Jika hujan lebat, kampungnya akan kebanjiran setinggi lutut.
Kampungnya persis terkurung di tengah-tengah perkantoran dan pertokoan. Untuk mencapai jalan raya, pihak manajemen pertokoan membuatkan pintu masuk, yang dibuka pada pukul 6 pagi dan ditutup pukul10 malam. Jika pintu ini ditutup, mereka harus memutar sejauh 2 kilometer.
Pak Adil mengangkat batang sepeda. Dia meniti hatihati pinggiran selokan. Gang selebar 1 meter diapit tembok tinggi milik rumah sakit swasta di sisi kiri dan di selokan selebar dua meter di kanannya, yang langsung berhubungan dengan tembok perusahaan besar. Hanya satu meter mereka memberi jalan bagi penduduk kampung berkehidupan, menuju jalan raya, di mana rezeki berseliweran.
Dia menghentikan langkahnya. Sepedanya tertahan. Ada sekitar 20 anak tangga untuk mencapai pintu tembus. Dia menjinjing sepedanya dengan susah payah, walaupun ini sudah dijalaninya sejak 7 tahun yang lalu, sejak perusahaan tempatnya bekerja bangkrut akibat terempas badai moneter.
Dari uang pesangon yang tak seberapa sebagai 􀁒􀁉􀂿􀁆􀁈􀀃􀁅􀁒􀁜, dia bisa memulai usahanya ini.
Napasnya tersengal-sengal. Kedua tangannya pegalpegal. Mungkin dirinya sudah semakin tua. Dia menahan beban sepedanya agar tak menggelinding. Aneh, pintu masih tertutup. Dia merasa yakin kalau sekarang sudah saatnya pintu dibuka. Tadi dari rumah dia berangkat pukul 05.45 WIB. Jalan pun dipelankan, agar begitu sampai di sini pas pintu dibuka. Tapi, ke mana Pak Soleh, satpam yang biasa membukakan pintu?
Dia dengan sabar menunggu. Tapi kedua lututnya gemetar. Kepalanya pusing. Subuh tadi, saat istrinya memasukkan mi ayam, tahu, telur dadar bakwan, tempe goreng, sambal kentang, dan tahu semur ke dalam plastik, memperingatkannya agar jangan berjualan.
“Wajah Bapak pucat,” kata istrinya.
“Nggak, nggak apa-apa, Bu…”
“Berhenti dulu ngerokok sama ngopinya…”
Pak Adil mengangguk. Pagi tadi, untuk yang pertama kalinya, dia tidak menghirup kopi dan merokok. Dia mengikuti saran istrinya; meminum teh manis panas dan bubur yang diberi kecap serta irisan telor dadar.
“Perasaan Ibu, kok, nggak enak ya, Pak…”
“Bapak nggak usah jualan sarapan dulu pagi ini,” kata Ikhlas, putra pertamanya.
“Itu artinya Bapak harus hati-hati, Bu….”
Bahkan, kedua anaknya yang sudah memberinya cucu, sering melarangnya untuk melakukan pekerjaannya.
“Kasihan para pelanggan Bapak. Nanti mereka susah mencari sarapan.”
“Bapak, nggak usah mikir begitu. Kalau Bapak berhenti jualan, nanti akan ada orang lain yang menggantikan Bapak.
Udahlah, Bapak sama Ibu istirahat saja. Seneng-seneng sama cucu. Gaji Ikhlas di bank lumayanlah buat bantu-bantu Bapak dan Ibu,” Ikhlas, teller di bank swasta, menyakinkannya.
Dia menikahi pramuniaga dan memberinya seorang cucu.
Mereka kini tinggal di perumahan kelas menengah tipe 36 di pinggiran Jakarta.
“Iya, Pak. Apa yang Bang Ikhlas omongin itu bener, Bapak berhenti aja. Mas Romli malah mengajak Bapak dan Ibu tinggal bersama kami, “kali ini putrinya, Siti Fatimah, memberi jalan keluar.
Tapi, dia tetap bersikeras untuk terus melakukan pekerjaan ini. Baginya, hidup tanpa melakukan pekerjaan sangatlah menakutkan. Harga dirinya sebagai lelaki, suami, ayah, dan kakek seolah tercampakkan. Batinnya berguman, dari mana nanti aku bisa membelikan mainan kepada kedua cucuku? Bagaimana nanti rupa wajahku, jika kedua cucuku minta piknik ke Ancol? Berjualan sarapan ini tidak sedikit keuntungannya. Dari modal 300 ribu rupiah, aku bisa mengantongi keuntungan 100 ribu rupiah. Dalam sebulan penghasilanku bisa mengalahkan pegawai negeri golongan 2! Kerjanya juga tidak berat. Aku cuma mangkal di tempat parkir. Orang-orang yang tak sempat sarapan datang membeli dan membawanya ke kantornya. Hanya begitu saja, kok, repot! Aku lelaki pekerja. Aku lelaki tangguh, yang terbiasa memberi makan anak dan istri. Bagiku, bekerja itu adalah ibadah.
Tapi aneh, kok, pintu masih tertutup?
Pak Adil memberi salam. Suaranya dikeraskan. Berulangulang, tak ada yang menjawab salamnya. Aneh. Dia mendongak. Dia melihat ujung sepatu nongol dari menara ronda.
“Kenapa, Pak Adil?” ada suara orang di belakangnya.
Pak Adil menoleh. “Pintunya masih ditutup, Dik,” jawabnya.
Sudah ada 3 orang di belakangnya. Bahkan, beberapa lagi muncul di ujung gang. “Saya tidak tahu, Dik.” Jawabnya. “Tapi, itu…,” dia menunjuk ke menara ronda. “Satpamnya masih tidur.”
“Lempar aja!”
“Udah jam enam seperempat, nih!”
“Keburu macet lagi!”
“Wah, kok jadi gini, sih!”
“Kenapa, ya?”
“Apa ada peraturan baru?”
“Lho, enak aja! Ini hak kita!”
“Iya! Mereka harus bayar ongkos sosial sama kita.”
“Udah, teriakin aja!”
“Oiiii, buka pintu!”
“Buka pintunyaaaaa!”
“Bukaaaaa!”
Seseoranng merangsek ke depan. Pak Adil oleng. Dia mencengkeram kuat sepedanya.
DUR!
DUR, DUR!
DUR, DUUR DUUUUR!
Pintu digedor-gedor.
Matahari mulai menaik.
Satpam di menara ronda terbangun. Dia mengucek-ucek matanya; melihat ke luar pagar.
DUR!
DUR, DUR!
DUR, DUUR DUUUUR!
“Hey, hey! Ada apa ini!” teriak Satpam di menara ronda.
Lho, bukan Pak Soleh? Ke mana dia? Pak Adil merasa heran. Kepala terasa pusing lagi.
“Cepet buka pintu!” teriak warga.
“Nyuruh orang yang sabar, dong!”
Satpam itu balas menghardik.
“Heh, lu yang di atas sana!”
“Cepat buka pintunya!”
“Udah setengah tujuh, nih!”
“Saya telat kerja, nih!”
Satpam pun bergegas turun dari menara. Dia menuju pintu tembus. Kini dia berdiri di seberang Pak Adil dan para warga.
Hanya dibatasi oleh pintu besi berjeruji. Dia berkacak pinggang.
Matanya yang masih belekan dibuka lebar-lebar; membelalak.
“Pak Soleh, ke mana? Sakit?” Tanya Pak Adil.
“Dia dipecat! Nggak becus kerjanya!”
Pak Adil makin pening.
“Siapa dia?”
 “Satpam baru kali!”
“Mentang-mentang baru, mau mainin kita!”
“Minta uang kali!”
“Udah, kasih, kasih!”
“Wah, duitku pas-pasan buat angkot, nih!”
“Pak Adil, Pak Adil!”
“Iya! Kasih dia sarapan, Pak!”
Pak Adil setuju. Tangannya dengan cepat merogoh kotak besar di jok belakang sepedanya. Kini posisinya makin turun ke anak tangga di tengah. Beberapa warga sudah mengambil alih posisinya. Dia mengambil nasi bungkus, telur dadar, dan sambel kentang. Lalu memasukkannya ke plastik hitam.
Dadanya terasa berdebar kencang.
“Kurang, Pak Adil! Kasih bakwannya, dong!” tegur seseorang, yang memakai seragam 􀁒􀁉􀂿􀁆􀁈􀀃􀁅􀁒􀁜􀀃pasar swalayan.
“Pelit amat, sih!”
“Iya,iya” Pak Adil mengambil bakwan. Hatinya merasa tak enak. Bungkusan berisi sarapan itu disodorkan ke warga di depannya. Secara estafet paket sarapan itu sampai di depan pintu tembus.
“Apa ini?” si satpam menatap curiga.
“Ayo, bukain! Ini sarapan buat Bapak!”
“Heh, enak aja! Lu pikir gue nggak sanggup beli, apa!”
“Ya, terserah! Sekarang, cepat buka!”
“Nggak bisa! Pemilik pertokoan sudah mengeluarkan keputusan, bahwa sejak hari ini, pintu tidak boleh dibuka lagi!”
“Lho, kok bisa begitu?”
“Ya, bisa saja!”
“Tapi, kenapa?”
“Barang-barang di toko banyak yang hilang! Malingnya diperkirakan kabur lewat sini!”
“Wah, nggak bisa begitu, dong!”
“Kita yang nggak tau apa-apa, kok, dibawa-bawa!”
“Kacau, deh!”
“Bisa-bisa tiap hari telat terus berangkat kerja!”
“Kali ini, buka dulu pintunya, Pak. Sudah tanggung, nih…”
“Iya, besok sih, gimana nanti.”
“Mustinya disosialisasikan dulu, dong!”
“Nggak, nggak ada tawar-menawar lagi! Malingnya udah diciriin dari kampung sini!”
“Lu pikir, malingnya dari kampung kita, apa?!”
Beberapa warga berdatangan lagi. Mereka merangsek ke depan, tidak sabar ingin melihat apa yang terjadi. Mereka merangsek terus ke depan dan menggedor-gedor lagi pintu besi, semakin keras, semakin keras. Anak tangga yang sempit terasa pengap dan sesak. Dorong-dorongan, sikut-sikutan….
Pak Adil makin ke bawah. Beberapa orang naik lagi.
Tubuh Pak Adil tersenggol. Dia oleng. Sepedanya terlepas.
Tubuhnya jumpalitan, bersenggolan dengan batang sepeda.
Akhirnya sepeda dan tubuh Pak Adil tersangkut-paut, mencebur ke selokan!
Para warga tidak peduli pada Pak Adil. Mereka terus saja merangsek. Menendang pintu, menggedor-gedor, berteriakteriak, memaki-maki…
Semakin banyak orang yang datang.
Semakin keras.
Pak Adil masih berkubang di selokan. Dia merasa tulang punggungnya remuk. Dia bangkit. Barang jualannya berupa nasi bungkus, lauk dan pauk untuk sarapan tak berguna lagi. Tubuhnya belepotan lumpur selokan yang bau.
DOR!
DOR, DOR!
DOR, DOR DOR!
Orang-orang panik berlarian. Ada yang menggelinding dan tercebur ke selokan. Tapi mereka terus berlarian dan menghindari hantaman timah panas.
Pak Adil masih di selokan, berusaha untuk menaikan sepedanya. Pintu terbuka. Tiga orang satpam mengacungacungkan pistolnya ke udara.
“”Udah dibilangin, nggak bisa dibuka!”
“Sini, sini!”
Ketiga satpam itu berdiri di anak tangga, memanjang ke atas. Mereka tertawa-tawa puas, melihat orang-orang lintangpukang.
Pistol mereka main-mainkan. Ujung larasnya yang mengepul, mereka tiup dengan lagak koboi kesiangan.
Terdengar suara keciprak air.
Pak Adil sedang menggerakkan sepedanya di selokan.
Ketiga satpam itu mencari-cari asal suara. Mata mereka berubah merah menyala, saat melihat Pak Adil berkubang lumpur di selokan.
“Dia provokatornya!”
“Iya! Dia tadi mau nyogok saya dengan sarapannya!”
“Hajar aja!”
Tanpa ada yang mengomando, mereka melompat ke selokan dan menghajar Pak Adil hingga pingsan
**
Ikhlas dan Siti Fatimah menuntun ibu mereka ke ruang gawat darurat. Air mata wanita tua itu masih saja mengalir.
“Kenapa Bapakmu? Kok, bisa nelangsa seperti itu?”
“Itu, Bu, para warga mengamuk, karena pintu tembusnya ditutup. Nggak bisa dibuka. Bapak dituduh provokatornya.”
“Bapakmu… provokator?”
“Iya”
“Provokator, Apa?”
“Itu… yang menyuruh warga supaya mengamuk.”
“Duh, gusti! Bapakmu itu rajin ngaji, kok, dituduh yang kayak gitu…”
“Bahkan Bapak dituduh mau nyuap petugas segala.
Bukti nasi sarapannya ada di mereka.”
“Ya Allah…”
“Ikhlas bilang juga apa, Bu,” Ikhlas merasa kesal campur marah, “Bapak nggak usah jualan lagi! Nggak nurut, sih!”
“Udah, sih, Bang! Ibu lagi sedih gitu, malah marahmarah lagi. Ini namanya takdir!”
Mereka hanya bisa menatap orang yang mereka cintai dari kejauhan. Tubuhnya terbujur tak berdaya. Selang infus menyelusup ke kedua lubang hidungnya. Denyut jantungnya terbaca di layar monitor; naik dan turun dengan lemah.
Sementara itu di tempat lain, beberapa kuli sedang mengaduk semen dan pasir. Bata-bata ditumpuk di atas adonan, menutupi jalan tembus.
Sumber: Kata Api Cinta: Tip Menulis dan 18 Cerita Pendek, 2014. Serang: Gong Publishing.

Sumber : Buku K13  Bahasa Indonesia  kelas IX