Mendengar kata Wayang tentunya bukanlah hal yang asing, namun cukup terasing, mengingat kondisi sekarang yang marak dengan perkembangan teknologi dan budaya barat yang kian mengikis budaya bangsa sendiri. Anak-anak sekarang mungkin tahu apa itu Wayang, tapi belumlah tentu mereka kenal lebih jauh dan mengerti akan kesenian Wayang. Merupakan daya tarik tersendiri untuk mengungkap keberadaan Wayang, setidaknya kita dapat mengetahui nilai-nilai filosofis dari kesenian Wayang atau secara umum tentunya mendapatkan gambaran fungsi sosial Wayang di tengah masyarakat dari zaman ke zaman, dalam hal ini di masa Islam atau Madya.
Kesenian Wayang di setiap zamannya memiliki fungsi yang berbeda, pada awal keberadaannya, yakni di masa Hindu-Buddha Wayang berfungsi sebagai alat untuk menggambarkan nenek moyang. Perlu menjadi catatan pula bahwa, walaupun agama Hindu-Buddha telah masuk, namun penghormatan kepada arwah nenek moyang tetap berlangsung karena orang Jawa pada masa itu sangatlah takut akan kutukan dari nenek moyang atau biasa disebut “kuwalat”. Wayang sendiri merupakan pengembangan dari ritual atau pemujaan terhadap nenek moyang yang dilakukan oleh seorang Syaman (selama ritual menggunakan topeng), biasanya disertai dengan nyanyian, tarian, dan musik. Syaman tersebut kemudian menjadi “medium” untuk dirasuki oleh arwah nenek moyang yang kemudian mengoceh menceritakan peranan para nenek moyang di masa sebelumnya. Dari ritual seperti itulah orang-orang di Pulau Jawa kemudian memunculkan Wayang, di mana nenek moyang digambarkan sebagai tokoh-tokoh Wayang tersebut.
Sebelum membahas lebih jauh ada baiknya terlebih dahulu membahas asal kata Wayang. Perkataan Wayang berasal dari bahasa Jawa Krama Ngoko (bahasa Jawa halus dan kasar) yang berarti perwajahan yang terdiri barang dan lain sebagainya, yang terkena cahaya atau penerangan. Perwajahan yang terdiri dari barang dan lain sebagainya yang terkena cahaya (penerangan = bayangan). Secara istilah Wayang dapat pula didefinisikan sebagai tiruan orang-orangan yang dibuat dari belulang (kayu, kertas) untuk membentuk sebuah lelakon (cerita).
Seiring perkembangan Wayang selama berabad-abad, maka seni pewayangan berkembang sedemikian rupa hingga berjumlah empat ratus jenis, diantaranya:
Wayang Beber, Wayang Gedhong, Wayang Purwa, Wayang Golek, Wayang Orang, Wayang Da’wah, Wayang kulit Betawi, Wayang kulit Bali, dll. Dalam artikel ini penulis akan membahas mengenai Wayang Da’wah. Mengapa Wayang Da’wah yang dibahas? Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa Wayang Da’wah memiliki peran yang cukup penting dalam penyebaran agama Islam sekaligus sisi menarik dari unsur-unsur budaya Hindu-Buddha yang berakulturasi dengan nilai-nilai keIslaman.
Sisi menarik lainnya adalah pergeseran zaman dari masa Hindu-Buddha ke masa Madya atau Islam yang dapat terlihat melalui pemasukan unsur-unsur Islam ke dalam kesenian Wayang, dengan kata lain kita dapat memperoleh gamba
Sebelum membahas lebih jauh ada baiknya terlebih dahulu membahas asal kata Wayang. Perkataan Wayang berasal dari bahasa Jawa Krama Ngoko (bahasa Jawa halus dan kasar) yang berarti perwajahan yang terdiri barang dan lain sebagainya, yang terkena cahaya atau penerangan. Perwajahan yang terdiri dari barang dan lain sebagainya yang terkena cahaya (penerangan = bayangan). Secara istilah Wayang dapat pula didefinisikan sebagai tiruan orang-orangan yang dibuat dari belulang (kayu, kertas) untuk membentuk sebuah lelakon (cerita).
Seiring perkembangan Wayang selama berabad-abad, maka seni pewayangan berkembang sedemikian rupa hingga berjumlah empat ratus jenis, diantaranya:
Wayang Beber, Wayang Gedhong, Wayang Purwa, Wayang Golek, Wayang Orang, Wayang Da’wah, Wayang kulit Betawi, Wayang kulit Bali, dll. Dalam artikel ini penulis akan membahas mengenai Wayang Da’wah. Mengapa Wayang Da’wah yang dibahas? Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa Wayang Da’wah memiliki peran yang cukup penting dalam penyebaran agama Islam sekaligus sisi menarik dari unsur-unsur budaya Hindu-Buddha yang berakulturasi dengan nilai-nilai keIslaman.
Sisi menarik lainnya adalah pergeseran zaman dari masa Hindu-Buddha ke masa Madya atau Islam yang dapat terlihat melalui pemasukan unsur-unsur Islam ke dalam kesenian Wayang, dengan kata lain kita dapat memperoleh gamba
Wayang Beber, Wayang Gedhong, Wayang Purwa, Wayang Golek, Wayang Orang, Wayang Da’wah, Wayang kulit Betawi, Wayang kulit Bali, dll. Dalam artikel ini penulis akan membahas mengenai Wayang Da’wah. Mengapa Wayang Da’wah yang dibahas? Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa Wayang Da’wah memiliki peran yang cukup penting dalam penyebaran agama Islam sekaligus sisi menarik dari unsur-unsur budaya Hindu-Buddha yang berakulturasi dengan nilai-nilai keIslaman.
Sisi menarik lainnya adalah pergeseran zaman dari masa Hindu-Buddha ke masa Madya atau Islam yang dapat terlihat melalui pemasukan unsur-unsur Islam ke dalam kesenian Wayang, dengan kata lain kita dapat memperoleh gambaran mengenai ikatan kebudayaan dan jiwa zaman yang berkembang saat terjadinya proses Islamisasi.
Sumber: hgbudiman.wordpress.com
Jawablah pertanyaan berikut!
1. Bagaimanakah wujud akulturasi budaya dalam kesenian wayang?
2. Mengapa wayang saat ini tidak populer dan cenderung tidak dikenal oleh generasi muda Indonesia?
3. Sebagai seorang generasi muda, hal-hal apa saja yang dapat dilakukan agar kesenian wayang tetap lestari?
Sumber : buku k13 Ilmu Pengetahuan Sosial kelas VIII
Sisi menarik lainnya adalah pergeseran zaman dari masa Hindu-Buddha ke masa Madya atau Islam yang dapat terlihat melalui pemasukan unsur-unsur Islam ke dalam kesenian Wayang, dengan kata lain kita dapat memperoleh gambaran mengenai ikatan kebudayaan dan jiwa zaman yang berkembang saat terjadinya proses Islamisasi.
Sumber: hgbudiman.wordpress.com
Jawablah pertanyaan berikut!
1. Bagaimanakah wujud akulturasi budaya dalam kesenian wayang?
2. Mengapa wayang saat ini tidak populer dan cenderung tidak dikenal oleh generasi muda Indonesia?
3. Sebagai seorang generasi muda, hal-hal apa saja yang dapat dilakukan agar kesenian wayang tetap lestari?
Sumber : buku k13 Ilmu Pengetahuan Sosial kelas VIII