Peranan perempuan pada masa pergerakan nasional sangat penting dipelajari. Pada masa penjajahan, perempuan memiliki sedikit akses dalam berbagai kegiatan seperti dalam pendidikan, pemerintahan, dan berbagai kegiatan masyarakat lainnya.
Dominasi laki-laki dalam berbagai kegiatan masyarakat terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Bahkan banyak perempuan yang hanya berperan sebagai pelengkap kehidupan keluarga. Kondisi ini tentu bertentangan dengan kodrat wanita yang memiliki derajat sama dengan kaum laki-laki. Karena itu, kemudian muncul berbagai organisasi perempuan yang memperjuangkan persamaan derajat kaum perempuan dan laki-laki.
Sebagai contoh adalah perjuangan R. A. Kartini dalam memperjuangkan nasib wanita. Perjuangan RA Kartini patut dikaji sebagai salah satu contoh perjuangan perempuan dalam memperoleh kesamaan derajat, khususnya dalam bidang pendidikan. RA Kartini memelopori pendidikan untuk wanita khususnya di Kota Jepara Jawa Tengah. Walaupun RA Kartini tidak mendirikan organisasi besar, tetapi cita-citanya memberikan inspirasi kaum pergerakan di Indonesia.
Dominasi laki-laki dalam berbagai kegiatan masyarakat terjadi di berbagai wilayah Indonesia. Bahkan banyak perempuan yang hanya berperan sebagai pelengkap kehidupan keluarga. Kondisi ini tentu bertentangan dengan kodrat wanita yang memiliki derajat sama dengan kaum laki-laki. Karena itu, kemudian muncul berbagai organisasi perempuan yang memperjuangkan persamaan derajat kaum perempuan dan laki-laki.
Sebagai contoh adalah perjuangan R. A. Kartini dalam memperjuangkan nasib wanita. Perjuangan RA Kartini patut dikaji sebagai salah satu contoh perjuangan perempuan dalam memperoleh kesamaan derajat, khususnya dalam bidang pendidikan. RA Kartini memelopori pendidikan untuk wanita khususnya di Kota Jepara Jawa Tengah. Walaupun RA Kartini tidak mendirikan organisasi besar, tetapi cita-citanya memberikan inspirasi kaum pergerakan di Indonesia.
Pada tahun 1912 berdiri organisasi wanita pertama di Jakarta. Organisasi itu berjuang untuk mendorong wanita agar mendapat pendidikan dan dapat tampil di depan umum tanpa rasa takut, serta mempunyai kedudukan yang sama dengan laki-laki. pada tahun 1913- 1915 berdiri berbagai organisasi wanita, terutama di Jawa dan Minangkabau. Fokus perhatian mereka adalah mendobrak semua tradisi yang mengukung wanita dan memajukan mereka.
Beberapa organisasi wanita yang tumbuh seperti Kautaman Istri didirikan dengan tujuan mendirikan sekolah-sekolah untuk perempuan, antara lain di Tasikmalaya (1913), Cianjur (1916), Ciamis (1916), Sumedang (1916), dan Cicurug (1918).
Juga berdiri sekolah-sekolah Kartini di Jakarta (1913), Madiun (1914), Malang dan Cirebon (1916), Pekalongan (1917), dan kota-kota lain. disamping itu perkumpulan kaum ibu dengan berbagai kegiatan keterampilan bermunculan. Perkumpulan itu lebih memberikan keterampilan menjahit, memasak, memelihara anak, dan merenda, seperti pada perkumpulan Pawiyatan Winoto (Magelang, 1915), Wanito Susilo (Pemalang, 1918), Wanito Hadi di Jepara (1915).
Organisasi wanita tidak hanya bergerak dalam bidang pendidikan, tetapi juga di bidang sosial. Organisasi wanita yang mempunyai peranan penting adalah Aisyiah. Aisyiah yang dimulai sejak K. H. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah, memberikan bantuan pada kaum perempuan untuk mengikuti perintah agama. Pada tahun 1914, wanita Muhammadiyah bergabung dalam Sopo Tresno. Kemudian berganti nama menjadi Aisyiah, dengan Nyai Dahlan sebagai ketuanya. Organisasi itu berkembang dengan jumlah anggota mencapai 5000 orang dan mempunyai 47 cabang dengan 50 kring. Aisyiah mempunyai sekolah perempuan sebanyak 32 sekolahan dengan 75 guru.
Perkumpulan dengan nama Wanito Katolik juga berdiri di Indonesia. Di daerah juga muncul perkumpulan wanita seperti Ina Tuni di Ambon, Wanito Utomo dan Wanito Mulyo di Yogyakarta, Puteri Budi Sejati yang berdiri di Surabaya. Perkumpulan pelajar putri juga mendirikan organisasi pemudi pelajar, antara lain Puteri Indonesia, bagian dari Pemuda Indonesia. Jong Islamienten Bond Dames Afdeling (JIBDA), Jong Java bagian gadis, dan Organisasi Wanita Tamansiswa.
Pada tanggal 22-25 Desember 1928 organisasi perempuan melaksanakan Kongres Perempuan I di Yogyakarta. Kongres itu digagas oleh tujuh organisasi wanita, yaitu Wanito Utomo, Wanita Taman Siswa, Aisyiah, Putri Indonesia, Wanita Katolik, Jong Java bagian Gadis, dan JIBDA. Kongres itu bercita-cita untuk memajukan wanita Indonesia dan mengadakan gabungan antara perkumpulan wanita. Kongres menghasilkan badan permufakatan dengan Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI), mendirikan studiefonds, untuk membantu anak perempuan yang tidak mampu membiayai sekolah, dan mencegah perkawinan di bawah umur.
Kongres yang diadakan setelah Kongres Pemuda itu merupakan titik tolak keba
Beberapa organisasi wanita yang tumbuh seperti Kautaman Istri didirikan dengan tujuan mendirikan sekolah-sekolah untuk perempuan, antara lain di Tasikmalaya (1913), Cianjur (1916), Ciamis (1916), Sumedang (1916), dan Cicurug (1918).
Juga berdiri sekolah-sekolah Kartini di Jakarta (1913), Madiun (1914), Malang dan Cirebon (1916), Pekalongan (1917), dan kota-kota lain. disamping itu perkumpulan kaum ibu dengan berbagai kegiatan keterampilan bermunculan. Perkumpulan itu lebih memberikan keterampilan menjahit, memasak, memelihara anak, dan merenda, seperti pada perkumpulan Pawiyatan Winoto (Magelang, 1915), Wanito Susilo (Pemalang, 1918), Wanito Hadi di Jepara (1915).
Organisasi wanita tidak hanya bergerak dalam bidang pendidikan, tetapi juga di bidang sosial. Organisasi wanita yang mempunyai peranan penting adalah Aisyiah. Aisyiah yang dimulai sejak K. H. Ahmad Dahlan mendirikan Muhammadiyah, memberikan bantuan pada kaum perempuan untuk mengikuti perintah agama. Pada tahun 1914, wanita Muhammadiyah bergabung dalam Sopo Tresno. Kemudian berganti nama menjadi Aisyiah, dengan Nyai Dahlan sebagai ketuanya. Organisasi itu berkembang dengan jumlah anggota mencapai 5000 orang dan mempunyai 47 cabang dengan 50 kring. Aisyiah mempunyai sekolah perempuan sebanyak 32 sekolahan dengan 75 guru.
Perkumpulan dengan nama Wanito Katolik juga berdiri di Indonesia. Di daerah juga muncul perkumpulan wanita seperti Ina Tuni di Ambon, Wanito Utomo dan Wanito Mulyo di Yogyakarta, Puteri Budi Sejati yang berdiri di Surabaya. Perkumpulan pelajar putri juga mendirikan organisasi pemudi pelajar, antara lain Puteri Indonesia, bagian dari Pemuda Indonesia. Jong Islamienten Bond Dames Afdeling (JIBDA), Jong Java bagian gadis, dan Organisasi Wanita Tamansiswa.
Pada tanggal 22-25 Desember 1928 organisasi perempuan melaksanakan Kongres Perempuan I di Yogyakarta. Kongres itu digagas oleh tujuh organisasi wanita, yaitu Wanito Utomo, Wanita Taman Siswa, Aisyiah, Putri Indonesia, Wanita Katolik, Jong Java bagian Gadis, dan JIBDA. Kongres itu bercita-cita untuk memajukan wanita Indonesia dan mengadakan gabungan antara perkumpulan wanita. Kongres menghasilkan badan permufakatan dengan Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI), mendirikan studiefonds, untuk membantu anak perempuan yang tidak mampu membiayai sekolah, dan mencegah perkawinan di bawah umur.
Kongres yang diadakan setelah Kongres Pemuda itu merupakan titik tolak keba
Perkumpulan dengan nama Wanito Katolik juga berdiri di Indonesia. Di daerah juga muncul perkumpulan wanita seperti Ina Tuni di Ambon, Wanito Utomo dan Wanito Mulyo di Yogyakarta, Puteri Budi Sejati yang berdiri di Surabaya. Perkumpulan pelajar putri juga mendirikan organisasi pemudi pelajar, antara lain Puteri Indonesia, bagian dari Pemuda Indonesia. Jong Islamienten Bond Dames Afdeling (JIBDA), Jong Java bagian gadis, dan Organisasi Wanita Tamansiswa.
Pada tanggal 22-25 Desember 1928 organisasi perempuan melaksanakan Kongres Perempuan I di Yogyakarta. Kongres itu digagas oleh tujuh organisasi wanita, yaitu Wanito Utomo, Wanita Taman Siswa, Aisyiah, Putri Indonesia, Wanita Katolik, Jong Java bagian Gadis, dan JIBDA. Kongres itu bercita-cita untuk memajukan wanita Indonesia dan mengadakan gabungan antara perkumpulan wanita. Kongres menghasilkan badan permufakatan dengan Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI), mendirikan studiefonds, untuk membantu anak perempuan yang tidak mampu membiayai sekolah, dan mencegah perkawinan di bawah umur.
Kongres yang diadakan setelah Kongres Pemuda itu merupakan titik tolak kebangkitan nasional untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Pergerakan Wanita Indonesia mempunyai hubungan yang erat dengan kebangkitan nasional yang diikuti dengan tumbuhnya organisasi wanita kebangsaan. Disamping untuk memperjuangkan nasib kaum perempuan organisasi wanita juga memperjuangkan kearah kemerdekan Indonesia. Hal itulah yang membedakannya dengan corak perjuangan emansipasi wanita di dunia barat.
Sumber : buku k13 Ilmu Pengetahuan Sosial kelas VIII
Pada tanggal 22-25 Desember 1928 organisasi perempuan melaksanakan Kongres Perempuan I di Yogyakarta. Kongres itu digagas oleh tujuh organisasi wanita, yaitu Wanito Utomo, Wanita Taman Siswa, Aisyiah, Putri Indonesia, Wanita Katolik, Jong Java bagian Gadis, dan JIBDA. Kongres itu bercita-cita untuk memajukan wanita Indonesia dan mengadakan gabungan antara perkumpulan wanita. Kongres menghasilkan badan permufakatan dengan Perikatan Perkumpulan Perempuan Indonesia (PPPI), mendirikan studiefonds, untuk membantu anak perempuan yang tidak mampu membiayai sekolah, dan mencegah perkawinan di bawah umur.
Kongres yang diadakan setelah Kongres Pemuda itu merupakan titik tolak kebangkitan nasional untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Pergerakan Wanita Indonesia mempunyai hubungan yang erat dengan kebangkitan nasional yang diikuti dengan tumbuhnya organisasi wanita kebangsaan. Disamping untuk memperjuangkan nasib kaum perempuan organisasi wanita juga memperjuangkan kearah kemerdekan Indonesia. Hal itulah yang membedakannya dengan corak perjuangan emansipasi wanita di dunia barat.
Sumber : buku k13 Ilmu Pengetahuan Sosial kelas VIII