Perang Banjar


Kamu tentu sudah mengenal Provinsi Kalimantan Selatan. Ibukotanya ada di Banjarmasin. Berbicara soal Banjarmasin, apa yang kamu ingat, apa yang kamu ketahui tentang Banjarmasin atau Provinsi Kalimantan Selatan pada umumnya. Kamu pernah mendengar tentang batu-batu mulia dan intan dari Kalimantan Selatan? Atau kamu tahu tentang kain sasirangan. Itu semua merupakan produk-produk penting dari Kalimantan Selatan dewasa ini.

Bagaimana dengan latar belakang sejarahnya?

Di Kalimantan Selatan pernah berkembang Kerajaan Banjar atau Banjarmasin. Wilayah Kesultanan Banjarmasin ini pada abad ke-19 meliputi Kalimantan Selatan dan Kalimantan Tengah sekarang. Pusatnya ada di Martapura. Kesultanan ini memiliki posisi yang strategis dalam kegiatan perdagangan dunia. Hal ini terutama karena adanya hasil-hasil seperti emas dan intan, lada, rotan dan damar. Hasil-hasil ini termasuk produk yang diminati oleh orangorang Barat, sehingga orang-orang Barat juga berminat untuk menguasai Kesultanan Banjarmasin. Salah satu pihak yang berambisi untuk menguasai Banjarmasin adalah Belanda.

Setelah melalui bujuk rayu disertai tekanan-tekanan, maka pada tahun 1817 terjadi perjanjian antara Sultan Banjar (Sultan Sulaiman) dengan pemerintah Hindia Belanda. Dalam perjanjian ini Sultan Sulaiman harus menyerahkan sebagian wilayah Banjar kepada Belanda, seperti daerah Dayak, Sintang, Bakumpai, Tanah Laut, Mundawai, Kotawaringin, Lawai, Jalai, Pigatan, Pasir Kutai, dan Beran. Dengan demikian wilayah kekuasaan Kesultanan Banjarmasin semakin sempit, sementara daerah kekuasaan Belanda semakin bertambah. Bahkan menurut perjanjian yang diadakan tanggal 4 Mei 1826 antara Sultan Adam Alwasikh dengan Belanda, menetapkan bahwa daerah Kesultanan Banjar tinggal daerah Hulu Sungai, Martapura, dan Banjarmasin.

Wilayah yang semakin sempit itu telah membawa problem dalam kehidupan sosial ekonomi. Penghasilan para penguasa kerajaan menjadi semakin kecil. Sementara dengan masuknya pola hidup Barat, kebutuhan hidup para penguasa meningkat. Dengan demikian beban hidup mereka semakin sulit. Untuk mengatasi kesulitan ini maka mereka menaikkan pajak. Dengan demikian rakyat menjadi sasaran eksploitasi baik dari pemerintah kolonial maupun para pejabat kerajaan. Rakyat juga diperintahkan untuk melakukan kerja wajib.

Dalam suasana sosial ekonomi yang memprihatinkan itu, di dalam kerajaan sendiri terjadi konflik intern. Hal ini juga karena ulah intervensi Belanda. Hal ini bermula saat putera mahkota Abdul Rakhman meninggal secara mendadak pada tahun 1852. Sementara Sultan Adam memiliki tiga putra sebagai kandidat pengganti sultan, yakni : Pangeran Hidayatullah, Pangeran Tamjidillah, dan Prabu Anom. Ketiga kandidat itu masing-masing memiliki pendukung. Pangeran Hidayatullah didukung pihak istana dan kebetulan sudah mengantongi surat wasiat dari Sultan Adam untuk menggantikan sebagai sultan, Pangeran Anom dijagokan sebagai mangkubumi, sedang Tamjidillah didukung Belanda.

Tahun 1857 Sultan Adam meninggal. Dengan sigap Residen E.F. Graaf von Bentheim Teklenburg mewakili Belanda mengangkat Tamjidillah sebagai sultan dan Pangeran Hidayatullah diangkat sebagai mangkubumi. Pada hal menurut wasiat yang sah yang diangkat menjadi sultan adalah Pangeran Hidayatullah. Oleh karena itu, wajar kalau pengangkatan Tamjidillah sebagai Sultan Banjarmasin menimbulkan protes dan rasa kecewa dari berbagai pihak. Tamjidillah memiliki perangai yang kurang baik, senang minum-minuman keras seperti orang Belanda. Tamjidillah juga menghapus hak-hak istimewa pada saudarasaudaranya termasuk menganggap tidak ada surat wasiat dari Sultan Adam kepada Pangeran Hidayatullah. Kemudian, setelah hakhaknya dirampas, Pangeran Anom dibuang ke Bandung. Tindakan Tamjidillah yang sewenangwenang itu semakin menimbulkan rasa kecewa dari berbagai pihak. Salah satu gerakan protes dan menolak pengangkatan Tamjidillah sebagai sultan adalah yang dipelopori oleh Penghulu Abdulgani. Pangeran Hidayatullah yang diangkat sebagai mangkubumi ternyata selalu disisihkan dalam berbagai urusan. Akibatnya ketegangan di istana semakin tajam sehingga membuat kondisi kerajaan menjadi tidak kondusif.

Dalam suasana yang penuh ketegangan itu ditambah terjadi gerakan di pedalaman yang dipelopori oleh Aling. Aling yang juga dikenal sebagai Panembahan Muning mengatakan dalam semedinya ia mendapatkan firasat agar Kesultanan Banjarmasin dikembalikan kepada Pangeran Antasari, sepupu Pangeran Hidayatullah. Pangeran Antasari adalah juga seorang pangeran yang diperkirakan juga keturunan raja di Banjarmasin. Gerakan Aling ini membuat suasana kerjaan semakin kacau. Pusat gerakan Aling dinamakan Tambai Mekah (Serambi Mekah) yang terletak di tepian Sungai Muning. Aling juga memanggil Antasari agar datang di Tambai Mekah. Pengaruh Aling ini semakin besar dan banyak pengikutnya, karena Aling memang dipandang orang yang sakti. Pangeran Antasari yang memang sudah kecewa dengan apa yang terjadi di lingkungan kerajaan, datang dan bergabung dengan Gerakan Aling. Antasari berkeinginan untuk menurunkan Tamjidillah dan melawan kekuasaan Belanda. Di samping kekuatan penuh dari pengikut Aling, Pangeran Antasari juga mendapat dukungan dari berbagai pihak seperti Sultan Pasir dan Tumenggung Surapati pimpinan orang-orang Dayak.

Pada tanggal 28 April 1859 orang-orang Muning di bawah komando Panembahan Aling dan puteranya, Sultan Kuning menyerbu kawasan tambang batu bara di Pengaron. Sekalipun gagal menduduki benteng di Pengaron tetapi para pejuang Muning berhasil membakar kawasan tambang batu bara dan pemukiman orang-orang Belanda di sekitar Pengaron. Banyak orang-orang Belanda yang terbunuh oleh gerakan orang-orang Muning ini. Mereka juga melakukan penyerangan ke perkebunan milik gubernemen di Gunung Jabok, Kalangan, dan Bangkal Dengan demikian berkobarlah Perang Banjar.

Dengan peristiwa tersebut, keadaan pemerintahan Kesultanan Banjar semakin kacau. Sultan Tamjidillah yang memang tidak disenangi oleh rakyat itu juga tidak banyak berbuat. Oleh karena itu, Tamjidillah dinilai oleh Belanda tidak mampu memerintah maka diminta untuk turun tahta. Akhirnya pada tanggal 25 Juni 1859 secara resmi Tamjidillah mengundurkan diri dan mengembalikan legalia Banjar kepada Belanda. Tamjidillah kemudian diasingkan ke Bogor.

Mulai saat itu Kesultanan Banjar berada di bawah dominasi Belanda. Belanda sebenarnya berusaha membujuk Pangeran Hidayatullah (Hidayat) untuk bergabung dengan Belanda dan akan dijadikan Sultan Banjar. Tetapi kalau melihat kelicikan Belanda, bagi Pangeran Hidayatullah itu semua merupakan tipu daya Belanda. Oleh karena itu, Pangeran Hidayatullah memilih bersama rakyat untuk melancarkan perlawanan terhadap Belanda.

Sementara itu pasukan Antasari sudah bergerak menyerbu pos-pos Belanda di Martapura. Perlawanan Antasari dengan cepat mendapat dukungan dari para ulama dan punggawa kerajaan yang sudah muak dengan kelicikan dan kekejaman Belanda. Bulan Agustus 1859, Antasari bersama pasukan Haji Buyasin, Kiai Langlang, Kiai Demang Lehman berhasil menyerang benteng Belanda di Tabanio. Kemudian pasukan Surapati berhasil menenggelamkan kapal Belanda, Onrust, dan merampas senjata yang ada di kapal tersebut di Lontotuor, Sungai Barito Hulu. Dengan demikian Perang Banjar semakin meluas.\

Pada waktu itu memasuki bulan Agustus-September tahun 1859 pertempuran rakyat Banjar terjadi di tiga lokasi, yakni di sekitar Banua Lima, sekitar Martapura dan Tanah Laut, serta sepanjang Sungai Barito. Pertempuran di sekitar Banua Lima di bawah pimpinan Tumenggung Jalil, pertempuran di sekitar Martapura dan tanah Laut dipimpin oleh Demang Lehman, dan sepanjang Sungai Barito dikomandani oleh Pangeran Antasari. Kiai Demang Lehman yang berusaha mempertahankan benteng Tabanio diserbu tentara Belanda. Pertempuran sengit terjadi dan banyak membawa korban. Sembilan orang serdadu Belanda tewas. Belanda kemudian meningkatkan jumlah pasukannya. Benteng Tabanio berhasil dikepung oleh Belanda. Demang Lehman dan pasukannya dapat meloloskan diri. Demang Lehman kemudian memusatkan kekuatannya di benteng pertahanan di Gunung Lawak, Tanah Laut. Benteng ini juga diserbu tentara Belanda. Setelah bertahan mati-matian, akhirnya Demang Lehman meninggalkan benteng itu karena sudah banyak pengikutnya yang menjadi korban. Kekalahan Demang Lehman di benteng Gunung Lawak tidak memupuskan semangat juang melawan Belanda, sebab mereka yakin perang ini merupakan perang sabil.

Pada bulan September Deman Lehman dan para pemimpin lain seperti Tumenggung Jalil, dan Pangeran Muhammad Aminullah meninggalkan medan pertempuran di Tanah Laut menuju Kandangan untuk mengadakan perundingan dengan tokoh-tokoh pejuang yang lain. Dalam pertemuan di Kandangan itu menghasilkan kesepakatan yang intinya para pemimpin pejuang Perang Banjar menolak tawaran berunding dengan Belanda, dengan merumuskan beberapa siasat perlawanan sebagai berikut.
1. Pemusatan kekuatan perlawanan di daerah Amuntai.
2. Membuat dan memperkuat pertahanan di Tanah Laut, Martapura, Rantau dan Kandangan.
3. Pangeran Antasari memperkuat pertahanan di Dusun Atas.
4. Mengusahakan tambahan senjata.

Dalam pertemuan itu semua yang hadir mengangkat sumpah untuk berjuang mengusir penjajah Belanda dari bumi Banjar tanpa kompromi : “Haram Manyarah Waja sampai Kaputing”. Para pejuang tidak akan menyerah sampai titik darah yang penghabisan.

Setelah pertemuan itu perlawanan terus berkobar di berbagai tempat. Untuk menghadapi berbagai serangan itu Belanda juga terus memperkuat pasukan dan membangun benteng-benteng pertahanan seperti di Tapin, memperkuat Benteng Munggu Thayor, serta Benteng Amawang di Kandangan. Demang Lehman berusaha menyerang Benteng Amawang tersebut, tetapi gagal.

Setelah itu Demang Lehman dan pasukannya mundur menuju daerah Barabai untuk memperkuat pertahanan pasukan Pangeran Hidayatullah. Perlu diketahui bahwa Pangeran Hidayatullah setelah meninggalkan Martapura dan berkumpul dengan seluruh anggota keluarga, kemudian diikuti pasukannya ia berangkat ke Amuntai. Meskipun tidak dengan perangkat kebesaran, oleh para ulama dan semua pengikutnya, Hidayatullah diangkat sebagai sultan. Setelah itu Sultan Hidayatullah menyatakan perang jihad fi sabilillah terhadap orang-orang Belanda. Dalam gerakannya menuju Amuntai pasukannya melakukan serangan ke pos-pos Belanda.

Gerakan perlawanan Pangeran Hidayatullah kemudian dipusatkan di Barabai. Datanglah kemudian pasukan Demang Lehman untuk memperkuat pasukan Hidayatullah.

Menghadapi pasukan gabungan itu Belanda di bawah G.M. Verspyck mengerahkan semua kekuatan pasukan yang ada.
Pasukan infanteri dari Batalion VII, IX, XIII semua dikerahkan, ditambah 100 orang petugas pembawa perlengkapan perang dan makanan. Juga mengerahkan kapal-kapal perang dari Suriname, Bone dan kapal-kapal kecil. Terjadilah pertempuran sengit. Dengan seruan “Allahu Akbar” pasukan Hidayatullah dan Demang Lehman menyerbu menghadapi kekuatan tentara Belanda. Mereka dengan penuh keberanian menghadapi musuh karena yakin mati dalam perang ini adalah syahid.

Tetapi kekuatan tidak seimbang, pasukan Belanda lebih unggul dari jumlah pasukan maupun senjata, maka Hidayatullah dan Demang Lehman menarik mundur pasukannya. Kemudian membangun pertahanan di Gunung Madang. Semua kekuatan Belanda dikerahkan untuk segera menangkap Pangeran Hidayatullah. Pertahanan di Gunung Madang pun jebol. Pangeran Hidayatullah dengan sisa pasukannya kemudian berjuang berpindah-pindah, bergerilya dari tempat yang satu ke tempat yang lain, dari hutan yang satu ke hutan yang lain. Namun Belanda terus memburu dan mempersempit ruang gerak pasukan Hidayatullah. Akhirnya pada tanggal 28 Februari 1862 Hidayatullah berhasil ditangkap bersama anggota keluarga yang ikut bergerilya. Hidayatullah bersama anggota keluarganya kemudian diasingkan ke Cianjur, Jawa Barat. Berakhirlah perlawanan Pangeran Hidayatullah.

Sementara itu Pangeran Antasari terus melanjutkan perlawanan. Oleh para pengikutnya Antasari kemudian diangkat sebagai pejuang dan pemimpin  tertinggi agama Islam dengan gelar: Panembahan Amiruddin Kalifatullah Mukminin. Nah, bagaimana kelanjutan dan akhir dari perjuangan Pangeran Antasari?

Sumber : buku k13 kelas xi sejarah Indonesia