Sarekat Islam

Pada mulanya SI lahir karena adanya dorongan dari R.M. Tirtoadisuryo seorang bangsawan, wartawan, dan pedagang dari Solo. Tahun 1909, ia mendirikan perkumpulan dagang yang bernama Sarekat Dagang Islam (SDI). Perkumpulan itu bertujuan untuk memberikan bantuan pada para pedagang pribumi agar dapat bersaing dengan pedagang Cina. Saat itu perdagangan batik mulai dari bahan baku dikuasai oleh pedagang Cina, sehingga pedagang batik pribumi semakin terdesak. Kegelisahan Tirtoadisuryo itu diutarakan pada H. Samanhudi. Atas dorongan itu H. Samanhudi mendirikan Sarekat Dagang Islam di Solo (1911). Pada mulanya SI bertujuan untuk kesejahteraan sosial dan persamaan sosial. Mula-mula SI merupakan gerakan sosial ekonomi tanpa menghiraukan masalah kolonialisme.

Jelaslah bahwa tujuan utama SDI adalah melindungi kegiatan ekonomi pedagang Islam agar dapat terus bersaing dengan pengusaha Cina. Agama Islam digunakan sebagai faktor pengikat dan penyatu kekuatan pedagang Islam yang saat itu juga mendapat tekanan dan kurang diperhatikan dari pemerintah kolonial. Sebagai perkumpulan dagang SDI kemudian berpindah ke Surabaya yang merupakan kota dagang di Indonesia. SDI selanjutnya dipimpin oleh Haji Umar Said Cokroaminoto. Cokroaminoto dikenal sebagai seorang orator yang cakap dan bijak, kemampuannya berorator itu memikat anggota-anggotanya. Di bawah kepemimpinannya diletakkan dasar-dasar baru yang bertujuan untuk memajukan semangat dagang bangsa Indonesia.

Disamping itu SDI juga memajukan rakyat dengan menjalankan hidup sesuai ajarana agama dan menghilangkan paham yang keliru tentang agama Islam.

SDI kemudian berubah nama menjadi Sarekat Islam (SI) pada tahun 1913. Pada kongres SI yang pertama, tanggal 26 Januari 1913, dalam pidatonya di Kebun Bintang Surabaya, ia menegaskan bahwa tujuan SI adalah menghidupkan jiwa dagang bangsa Indonesia, memperkuat ekonomi pribumi agar mampu bersaing dengan bangsa asing. Usaha di bidang ekonomi itu nampak sekali dengan didirikannya koperasi di Kota Surabaya. Di Surabaya pula berdiri PT. Setia Usaha, yang bergerak tidak saja menerbitkan surat kabar “Utusan Hindia”, juga bergerak di bidang penggilingan padi dan perbankan.
Usaha itu dimaksudkan untuk membebaskan kehidupan ekonomi dari ketergantungan bangsa asing.

Dalam kurun waktu kurang dari satu tahun, SI sudah mempunyai cabang di berbagai kota. Organisasi itu tumbuh menjadi besar. Kemajuan yang dicapai oleh SI itu dianggap ancaman bagi pemerintah kolonial. Pemerintah kemudian mengeluarkan peraturan untuk menghambat laju pertumbuhan SI, yaitu cabang harus berdiri sendiri dan terbatas daerahnya. Pemerintah kolonial tidak keberatan SI daerah mengadakan perwakilan yang diurus oleh pengurus sentral. Kemudian dibentuklah Central Sarikat Islam (CSI) yang mengorganisasikan 50 cabang kantor SI daerah.

Ketika pemerintah kolonial mengijinkan berdirinya partai politik, SI yang semula merupakan organisasi nonpolitik berubah menjadi partai politik. SI mengirimkan wakilnya dalam Volksraad (Dewan Rakyat) dan memegang peran penting dalam Radicale Concentratie, yaitu gabungan perkumpulan yang bersifat radikal. Pemerintah kolonial yang dianggap cenderung kearah kapitalisme mulai ditentang. SI juga aktif mengorganisasi perkumpulan buruh. Dalam suatu pembukaan rapat Volksraad masih terekam dalam ingatan bersama kaum terpelajar bumiputera tentang Janji November (November Beloofte). Dalam pidatonya itu Gubernur Jenderal Hindia Belanda mengatakan bahwa dalam zaman baru hubungan pemerintah kolonial dan proses demokratisasi dimulai. Ia juga mengatakan, bila saatnya kelak Volksraad menjadi dewan rakyat, sebuah lembaga bagi rakyat Hindia untuk menyampaikan hasrat untuk merdeka. Namun Volksraad tidak pernah menjadi badan rakyat Hindia, Volksraad tetap menjadi alat bagi pemerintah kolonial. Karena kecilnya capaian yang diraih oleh dewan rakyat tersebut, mendorong Cokroaminoto dan Agus Salim untuk mengubah aliran politik SI dari kooperatif ke nonkooperatif dan menolak ikut serta dalam setiap dewan rakyat yang didirikan pemerintah.

Dalam kongres SI tahun 1914, yang diselenggarakan di Yogyakarta Cokroaminoto dipilih sebagai pimpinan SI. Gejala konflik internal mulai kelihatan dan kewibawaan CSI mulai berkurang. Dalam kondisi itu Cokroaminoto tetap mempertahankan keutuhan dengan mengatakan kecenderungan untuk memisahkan diri dari CSI harus dikutuk. Karena itu perpecahan harus dihindari, persatuan, harus dijaga karena Islam sebagai unsur penyatu. Dalam kongres tahunan yang diselenggrakan SI pada tahun 1916, Cokroaminoto menyampaikan dalam pidatonya perlunya pemerintahan sendiri untuk rakyat Indonesia. Pada tahun itu kongres pertama SI yang dihadiri oleh 80 anggota SI lokal dengan anggotanya sebanyak 36.000 orang. Kongres itu merupakan Kongres Nasional karena SI mempunyai citacita supaya penduduk Indonesia menjadi satu nation atau suku bangsa, dengan kata lain mempersatukan etnis Indonesia menjadi bangsa Indonesia. Cokroaminoto dikenal sebagai seorang politikus dan orator yang cerdas.

Seorang pemuda yang tinggal indekost di rumahnya tertarik dengan cara berpidatonya. Setiap hari pemuda itu sering mengikuti diskusi-diskusi yang diadakan di rumah Cokroaminoto. Dia juga meniru cara Cokro berpidato dengan berlatih pidato di balkon rumah Cokro. Kelak pemuda itu kita kenal sebagai seorang orator yang cerdas dan menjadi presiden pertama Indonesia, Sukarno.

Sebelum kongres tahunan berikutnya (1917) di Jakarta, muncul aliran revolusioner sosialis ditubuh SI, yang berasal dari SI Semarang yang dipimpin oleh Semaun. Kongres tetap berjalan dan memutuskan bahwa azas perjuangan SI adalah pemerintahan berdiri sendiri dan perjuangan melawan penjajahan dari kolonialisme. Sejak itu Cokroamitono dan Abdul Muis mewakili SI dalam Dewan Rakyat. SI semakin mendapat simpati dari rakyat. Keanggotaannya pun semakin meningkat. Sementara itu pengaruh Semaun semakin menjalar ke tubuh SI. Sejak itulah pengaruh sosial-komunis masuk ke dalam tubuh SI pusat maupun cabang-cabangnya. Sebagai organisasi besar SI telah disusupi oleh orang-orang yang menjadi anggota Indische Sociaal Democratische Vereninging (ISDV), seperti Semaun dan Darsono.

Pada kongres SI kelima tahun 1921, Semaun melancarkan kritik terhadap kebijakan SI Pusat sehingga timbul perpecahan. Di satu pihak aliran yang diinginkan SI adalah ekonomi dogmatis yang diwakili oleh Semaun, yang kemudian dikenal dengan SI Merah beraliran komunis. Di sisi lain, SI menginginkan aliran nasional keagamaan yang diwakili oleh Cokroaminoto, yang kemudian dikenal dengan SI Putih. Rupanya gejala perjuangan dua aliran itu tidak dapat dipersatukan. Agus Salim dan Abdul Muis mendesak agar ditetapkan disiplin partai yang melarang keanggotaan rangkap. Usulan itu sangat mengkhawatirkan Partai Komunis Indonesia (PKI). Oleh karena itu, Tan Malaka meminta displin partai diadakan perkecualian bagi PKI. Namun demikian, disiplin partai dapat diterima oleh kongres dengan suara mayoritas.

Konsekuensi dari itu Semaun dikeluarkan dari SI, karena tidak boleh rangkap anggota. Dengan demikian, langkah pertama dari pengaruh PKI ke dalam tubuh SI telah dapat diatasi.

Sementara itu dalam kongres di Madiun 1923, Central Sarekat Islam (CSI) diganti menjadi Partai Sarekat Islam (PSI), dan memberlakukan disiplin partai. Di lain pihak, SI yang mendapat pengaruh PKI menyatakan diri bernaung dalam Sarekat Rakyat yang merupakan bentukan PKI. Azas perjuangan PSI adalah nonkooperasi artinya oraganisasi itu tidak mau bekerjasama dengan pemerintah kolonial. Namun organisasi itu mengijinkan anggotanya duduk di dalam Dewan Rakyat atas nama pribadi. Kongres PSI tahun 1927 menegaskan azas perjuangan organisasi itu adalah mencapai kemerdekaan nasional berdasarkan agama Islam. Karena PSI menggabungkan diri dalam Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI), nama PSI ditambah dengan Indonesia untuk menunjukkan perjuangan kebangsaan. Selanjutnya organisasi itu bernama Partai Sarikat Islam Indonesia (1927). Maka muncullah pengaruh positif bagi perkembangan nasionalisme PSI. Perubahan nama itu berkaitan dengan kehadiran Sukiman yang baru datang dari Belanda. Dalam konggres Pemuda tahun 1928, PSII aktif mengambil bagian dalam PPPKI.

Banyaknya anggota muda dalam PSII membawa perbedaan paham antara golongan muda dengan golongan tua. Pada 1932, timbulah perpecahan dalam tubuh organisasi itu. Muncullah Partai Islam Indonesia (PARII) dibawah Dr. Sukiman yang berpusat di Yogyakarta. Agus Salim dan A.M. Sangaji mendirikan Barisan Penyedar yang berusaha menyadarkan diri sesuai dengan tuntutan zaman. Persatuan dalam PSII tak dapat dipertahankan lagi, Sukiman kemudian memisahkan diri yang diikuti oleh Wiwoho, Kasman Singodimedjo dll. Pada tahun 1940, Sekar Maji Kartosiwiryo mendirikan PSII tandingan terhadap PSII yang dipimpin Abikusno Cokrosuyoso. Akibat perpecahan itu PSII mengalami kemunduran. Peranannya sebagai Partai Islam kemudian dilanjutkan oleh Partai Islam Indonesia yang merupakan lanjutan dari PARII di bawah pimpinan Dr. Sukiman.

Sumber : buku k13 kelas xi sejarah Indonesia